Tuhan Selalu Mencukupi
Saya rasa, masalah yang cukup besar dalam hidup saya sampai hari ini adalah uang. Masalahnya apa? Kalau surplus tak henti-henti tentu bukan masalah, malah senang, yang jadi problem justru defisit tahun berjalan...
Dulu waktu mau melanjutkan studi ke Perguruan Tinggi selepas lulus SMA, untuk bayar uang pangkal saja tidak punya uang. Ayah sudah meninggal sewaktu saya masih belia, 1 SMP. Mama sedang berobat karena penglihatannya kabur. Sudah tak terhitung banyaknya uang yang disetorkan kepada para dokter, tanpa tahu apa sebenarnya penyakit mama.
Hasil diagnose terakhir diketahui, mama terkena tumor hypofise. Beliau harus operasi dan disinar. Jelas biaya yang dikeluarkan tidak sedikit. Selama hampir 3 tahun, dengan setia saya menemani mama sampai akhirnya Beliau dipanggil Tuhan pulang ke Surga dalam usia 51 tahun. Ketika itu saya baru saja masuk kuliah...
Masih teringat, kakak saya bekerja di sebuah perusahaan dengan upah pas-pasan untuk melewati bulan demi bulan saja. Walau demikian ada jalan keluar, saya meminjam uang dari bossnya kakak, demi membayar uang pangkal kuliah.
Setelah itu, bekerja sambil kuliah adalah kehidupan yang harus saya jalani. Tidak gampang memang, tetapi dikerjakan dengan semangat 45. Pagi kerja, sore sampai malam kuliah. Kuliahnya Ekonomi Akuntansi yang sungguh mati saya ga suka.
Untung berhasil diwisuda, tahun 1996. Setelah bekerja di Sebuah Kantor Akuntan Publik Internasional, saya merasa ada kelegaan sedikit. Sudah bisa jajan, beli yang disukai seperti CD, baju, dan barang-barang yang oke dong.
Tapi kemana-mana masih naik bus, kadang naik motor yang kalau panas kepanasan dan kalau hujan kehujanan. Saya kerap bertanya, ”Kapan ya aku bisa naik mobil?” Yah puji Tuhan! Kerja 3 tahun, aku sudah jadi Finance Manager di sebuah perusahaan Jerman dan dapat sebuah mobil Sedan Accord yang keren punya.
Rasanya bangga sekali, tiap malam minggu bisa bawa pacarku Liana jalan-jalan. Tapi kesenangan ini tak berlangsung lama, baru pakai mobil setahun sudah harus dijual. Kenapa? Masuk asrama teologi!
Memulai babak baru kehidupan yang sebelumnya ga pernah kepikir, sekolah teologi! Cita-cita...oh cita-cita... jadi hamba Tuhan.
Hitung-hitung boros kalau punya mobil, lagian tinggalnya kan di asrama. Mobil dijual buat biaya kuliah 4 tahun ke depan sampai lulus M.Div. Balik lagi deh naik motor, kepanasan lagi... kehujanan lagi.... gengsi rasanya melorot lagi. Padahal sempat setahun merasa sudah keren, masa depan terbuka lebar untuk meniti karir menuju puncak jabatan direktur di sebuah perusahaan atau beberapa perusahaan sekaligus.
Tapi ga apa-apa demi panggilan Tuhan, saya jalani saja. Tiga tahun tinggal di kampus teologi, sepertinya tidak ada masalah berarti. Hasil kerja setahun sebagai Finance Manager, memberi aku kelegaan untuk meminang pacarku tercinta Liana di tengah-tengah masa studi. Puji Tuhan! Bisa menikah dengan uang hasil keringat sendiri, bangganya masih terasa sampai hari ini.
Orang tua saya yang dua-duanya sudah meninggal, tidak saya sesali. Meminang Liana sendirian, tanpa ditemani keluarga. Dasar Nekat! Terlebih, sama sekali ga ada yang modalin pernikahan kami, tapi Break Event Point tuh, ga untung ga rugi. Tuhan benar-benar ahli akuntansi, bikin debet dan kreditnya balance. Selain biaya honeymoon ke Bali aja yang mesti keluar dari kantong sendiri, tapi itu ga seberapa dibanding kenangannya. Ya Kan? Ya Kan?
Masalah muncul saat saya selesai studi teologi dan kami sekeluarga harus hengkang dari asrama. Buntutnya sudah dua sekarang: Liana dan Jostein, putra pertama kami, yang lahir di masa studi M.Div. Seperti mahasiswa lainnya, saya harus praktek melayani. Kala itu di sebuah gereja di Jakarta. Honor yang saya terima adalah 1/10 jumlah gaji saya sebagai manager, dan... ini sudah berjarak 4 tahun. Harga barang-barang sudah pada naik, dan bedanya lagi, sekarang saya sudah punya isteri dan satu anak. Wah Wah, gimana menjalankan hidup?
Tapi aneh juga, sampai hari ini, kalau saya melihat ke belakang, ada-ada saja tuh cara Tuhan mencukupkan keuangan kami. Lagi kepepet, tahu-tahu ada pelayanan, tiba-tiba ada yang ngasih berkat, jumlahnya pas lagi dengan yang kami butuhkan. Ga kurang, ga lebih. Kadang saya berseru pada Tuhan, ”Tuhan, lebihin dikit dong!” Mungkin Tuhan tersenyum di sana dan berkata, ”Belum waktunya...”
Masa yang paling sulit pernah kami alami, waktu itu harus pindah kontrakan. Biaya kontrak rumah setahun 20 juta. Aduh..uang dari mana? Tapi Tuhan mengirim dua pasang suami-isteri untuk mencukupkan, masing-masing 10 juta. Mereka digerakkan oleh Tuhan karena mengetahui pergumulanku. Saya hanya bisa mengucapkan terima kasih, ”Kiranya Tuhan memberkati Bapak dan Ibu berlimpah ruah.”
Sampai hari ini, saya bisa katakan, kami tidak berkelebihan, tapi juga tidak berkekurangan sampai harus minta-minta makan. Tuhan selalu mencukupkan.
Sobat muda yang kukasihi, Road 5 tentu tidak bicara bagaimana mendapatkan uang sekian milyar dalam sekejap atau Financial Revolution ala Tung Desem Waringin, tetapi lebih berbicara soal sikap dan tanggung jawab sebagai orang percaya terhadap uang, dalam keadaan limpah maupun kekurangan. Intinya berbicara soal Financial Transformation.
Best Regards,
Ev. Chang Khui Fa(source)
Taken from Book GARAM & TERANG for Youth: Road To Transformation, Road 5 Money! Money! Money!
0 komentar :
Posting Komentar